Pemkab Aceh Tamiang Diminta Serius Mengatasi Kondisi Mangrove Yang Rusak Parah

Aceh Tamiang | Masyarakat Kecamatan Banda Mulia Kabupaten Aceh Tamiang mengeluhkan akan krisisnya kerusakan hutan manggrove di wilayahnya. 

Sementara masyarakat di kawasan tersebut sudah berupaya untuk melestarikan Manggrove melalui secara swadaya, namun pihak pemerintah dan dinas terkait terkesan diam.

Keluhan tersebut tersampaikan dalam Diskusi Multi Pihak yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadya Masyarakat Kawasan Ekosistem Manggrove dan Pulau Sumatera (KEMPRA) dan didukung oleh World Wide Fund  (WWF) Indonesia, pada 14 Juli 2021 lalu di Aula Kantor Bappeda Kabupaten Aceh Tamiang.

Diskusi Multi Pihak itu bertajuk “Pemanfaatan dan Perlindungan Mangrove Secara Berkelanjutan” menghadirkan pemangku kepentingan dari beberapa kampung pesisir, KPH 3, serta beberapa kepala dinas di jajaran pemerintah kabupaten Aceh Tamiang seperti kepala Bappeda, Kadis LH dan kadis Perikanan. 

Pernyataan ini disampaikan oleh beberapa Datok Penghulu (kepala desa) dan tokoh masyarakat di Kecamatan Banda Mulia yaitu desa Tanjung Keramat, Matang Seping dan Alur Nunang yang sebahagian besar wilayahnya merupakan kawasan mangrove Diskusi Multi Pihak.

Menurut para beberapa tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di kawasan pesisir Aceh Tamiang secara sukarela telah berinisiatif melakukan upaya untuk melindungi dan menyelamatkan kawasan mangrove yang tersisa di masing-masing kampung dengan meggagas pola kerja sama antara kelompok masyarakat dengan KPH 3 untuk melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan mangrove di wilayahnya secara berkelanjutan. 

Mereka secara aktif menjaga dan melakukan pengawasan terhadap aktifitas yang berlangsung di dalam kawasan mangrove, menerbitkan peraturan desa (Qanun Kampung) serta menerapkan sanksi bagi pihak yang melanggar.

Hasil pertemuan tersebut telah  melahirkan beberapa rekomendasi penting terkait langkah tindak lanjut yang harus diambil pemerintah untuk menyelamatkan hutan mangrove Aceh Tamiang yang masih tersisa.

Mereka mengharapkan adanya aksi nyata dan dukungan yang lebih konkrit dari pemerintah kepada pemangku kepentingan dan kelompok masyarakat di tingkat desa yang secara swadaya telah melakukan upaya penrlindungan dan penyelamatan mangrove di wilayahnya.

Terkait hal tersebut di atas, Direktur Eksekutif LSM Kempra, Izuddin Idris kepada harianfikiransumut.com, Senin (19/7/2021) membenarkan bahwa kondisi kawasan mangrove di wilayah kabupaten Aceh Tamiang memang sangat memprihatikan dan mengenaskan. 

Menurutnya, lebih 75 persen dari 23.000 hektar wilayah mangrove di Aceh Tamiang  dalam kondisi rusak akibat penguasaan dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali serta penebangan bakau untuk dijadikan bahan baku arang," tegasnya. 

Menurutnya saat ini, kondisi kerusakan mangrove Aceh Tamiang memasuki fase paling kritis sepanjang dekade, dan akan terus berlanjut apabila tidak ada kesungguhan dan keseriusan pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya untuk menghentikannya. 

Selama ini sambungnya, Pemerintah atau pemangku kepentingan di tingkat kabupaten tidak banyak berbuat dan seperti enggan mengambil langkah kebijakan untuk mengurangi atau menghentikan lajunya kerusakan hutan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir, dengan berlindung pada alasan klasik bahwa kewenangan pengelolaan dan pengawasan kawasan hutan dan wilayah mangrove berada di pemerintahan propinsi dan di tingkat pusat.  

Menurutnya, itu alasan yang terlalu dibuat-buat. Kewenangan pengelolaan dan pengawasan wilayah hutan boleh saja ada di tangan pemerintah propinsi atau pemerintah pusat, tapi secara geografis dan demografis lahan yang ada pada wilayah hutan tersebut tetap milik Aceh Tamiang, dan pemerintah daerah punya hak untuk mengatur peruntukannya sepanjang tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, sebutnya.

"Artinya, jika pemerintah Aceh Tamiang serius berupaya untuk menghentikan lajunya kerusakan mangrove, dapat dilakukan dengan menerbitkan aturan yang dapat membatasi lajunya kerusakan mangrove, misalnya dengan menerbitkan aturan moratorium penguasaan dan alih fungsi lahan mangrove atau larangan mengoperasikan dapur arang," tegasnya.

Izuddin mengatakan contoh lain yang dapat dilakukan adalah melalui pemberian insentif, reward atau memberikan perioritas pembangunan kepada desa yang berkomitmen dan telah melakukan tindakan nyata dalam melakukan upaya perlindungan dan pemanfaatan kawasan mangrove secara berkelanjutan. 

"Realita hari ini, komitment pemerintah Aceh Tamiang terhadap perlindungan dan penyelamatan hutan mangrove di kawasan pesisir masih sebatas narasi akademis yang tertuang dalam dokumen RPJM, KLHS dan RTRW, sementara langkah tindak lanjutnya belum tampak secara nyata," ungkap Izuddin.

Izuddin juga menambahkan bahwa sejak setahun terakhir, beberapa tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya di kawasan pesisir Aceh Tamiang secara sukarela telah berinisiatif untuk melakukan upaya untuk melindungi dan menyelamatkan kawasan mangrove yang tersisa di masing-masing desa dengan meggagas pola kerja sama antara kelompok masyarakat dengan KPH 3 untuk melakukan kegiatan pemanfaatan kawasan mangrove di wilayahnya secara berkelanjutan. 

Mereka juga secara aktif menjaga dan melakukan pengawasan terhadap aktifitas yang berlangsung di dalam kawasan mangrove, menerbitkan peraturan desa (Qanun Kampung) serta menerapkan sanksi bagi pihak yang melanggar.

" Inisiatif yang luar biasa ini sudah sepantasnya mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah di tingkat kabupaten, dengan menerbitkan regulasi yang dibutuhkan serta memberikan dukungan dan perlindungan terhadap apa yang mereka lakukan," pungkas Izuddin mengakhiri.


Laporan : pakar

Komentar

Berita Terkini