Jin Islam Mengaji di Ruang Sholat Keluarga Kami


Oleh: Rusdi Muhammad
Bunda berpulang kerahmatullah hari Rabu 13 Januari 2010 pukul 22 wib lewat 23 menit 24 detik.. Kalau   dihubungkan dengan Suat Al Qur’an kematian bunda bertepatan dengan Surat 13 ayat 22-24. Surat ke 13 adalah Ar Ra’d. Dalam Surat Ar Ra’ad ayat 22-24 Allah SWT berfirman yang artinya. “ Dan orang-orang yang sabar karena mencari keredhaan Tuhannya, mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka secara sembunyi sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yang mendapat tempat yang baik yaitu syurga “and yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu sambil mengucapkan keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.”
Kematian bunda di usia 85 tahun dikaitkan dengan firman Allah Surat Ar Ra’ad ayat 22-24 aku menganggabnya secara kebetulan saja, agar kami anak-anak yang ditinggalkannya mengambil pelajaran dari kehidupan bunda yang tabah. Tapi kemudian terjadilah hal-hal yang gaib di ruang sholat bunda. Ada suara dan sosok ghaib  mengaji Al Qur’an dengan sangat fasih sekali. Sosok gaib ini khatam Al Qur’an 30 zus. Mereka mengadiahkan pahala bacaan Al Qur’an untuk arwah bunda.
Yang dapat aku jelaskan semasa bunda masih hidup  sosok perempuan sholeah orangnya penyabar dan sangat pemurah. Bunda sering membagikan uang kepada anak-anak ponakannya, cucunya, dan tetangganya, meskipun kehidupan bunda tidak berkecukupan. Sejak masa remaja bunda hingga berpulang kerahmatullah bunda mengerjakan puasa sunnah senin-kamis dan puasa-puasa sunah lainnya seperti puasa 6 hari habis lebaran, puasa arafah, puasa nisfu sa’ban, puasa Asyura dan puasa lainnya yang dianjurkan oleh baginda Rasulullah SAW agar dikerjakan.
Kesabaran bunda menjalani romantika kehidupan di dunia dengan mengalami berbagai ujian cobaan hidup susah dan senang bahagia dan menderita bunda lalui dengan tabah. Bunda tidak pernah mengeluh apalagi berkeluh kesah ketika diuji dengan kesusahan dan tidak pula kikir jika bunda diuji dengan kesenangan. Bunda selalu mengajarkan kepada kami agar senantiasa bersyukur pada Allah SWT.
Di awal kehidupan perkawinan bunda dengan ayah, bersama ketiga buah hatinya hidup senang dan bahagia. Ayah waktu itu selain kepala SD Swasta Muhammaddiyah juga menjabat sebagai Kepala Desa di sebuah perkebunan Swasta.. Jabatan yang diemban ayah membuat kedua orangtua kami sangat dihormati masyarakat. Apalagi sosok ibu yang sholeah begitu juga dengan ayah yang saleh. Ibu mengajarkan kepada kami agar membantu kehidupan fakir miskin di sekitar tempat tinggal kami. Jika ada tamu datang minta sedekah bunda menyuruh kami memberikan uang kalau tak ada uang beri mereka beras. Suruh pengemis itu masuk ke rumah beri ia air minum dan roti.
Memasuku tahun ke 15 perkawinan bunda kehidupan keluarga kami mengalami prahara hebat. Situasi Negara saat itu kacau balau huru hara terjadi di seluruh pelosok negeri saat G 30S PKI meletus. Kehidupan rakyat berubah menjadi susah. Bahan-bahan kebutuhan pokok susah didapat.Kalaupun ada harganya melambung tinggi. Ibupun harus menanak nasi bubur untuk menghemat stok beras yang masih tersisa. Demikian pula setelah pemberontakan G30S PKI dapat ditumpas lahirlah Ordebaru tidak serta merta ekonomi dalam negeri menjadi pulih.
Demikian pula kehidupan kami saat itu. Pembersihan dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap antek-antek  PKI membuat ayah saat itu masih menjabat Kepala Desa harus berurusan dengan aparat kepolisian dan tentara. Ayah sering diminta menjadi saksi apakah warganya yang ditangkap atas laporan masyarakat terindikasi PKI. Tengah malam aparat TNI sering menggedor rumah kami membawa seseorang yang diduga PKI. Ayah  terpaksa berbohong mengatakan warga yang ditangkap itu bukan anggota PKI.
Atas permintaan ibu karena takut pada keselamatan jiwa ayah kadang dijeput aparat tengah malam ke pos, akhirnya ayah memutuskan mengundurkan diri dari jabatgan kepala desa. Ayah membawa keluarganya pindah ke rumah kakek. Selang beberapa bulan kemudian ayah diterima bekerja sebagai guru sekolah madrasah di perkebunan. Gaji ayah di zaman itu sangat kecil, apalagi setiap bulan ayah harus berbagi uang gajinya dengan kakak tertua yang sekolah di luar propinsi. Selama empat tahun ayah ibu aku dan kakak perempuanku setiap lebaran tak pernah punya baju baru.
Perkebunan memberikan catu sembako yang sudah apek. Beras kadang berulat ikan asin busuk, minyak makan bauhnya tengik. Bahkan pernah kami sekeluarga menderita diare akibat mengkonsumsi beras sentetis beras yang bahannya dari gandum. Orang kebon menyebutnya beras atom. Kata kakakku aku sering rewel mogok enggak mau makan karena berasnya apek lauknya ikan asin. Sedangkan sebelumnya waktu ayah jadi kades setiap hari makan ikan basah, beras putih.
Dengan lemah lembut ibu berkata membujukku sambil menangis agar aku mau makan..
“Dulu kita pernah hidup senang waktu ayahmu jadi kades dan kepala sekolah SD Swasta. Kalau sekarang hidup kita susah ini semua ujian dan cobaan Tuhan. Begitulah kehidupan manusia di dunia seperti air laut kadang pasang kadang surut, kadang diatas kadang dibawah seperti roda pedati. Kita harus sabar nak ? jangan merajuk nak ,tak mau makan ibu jadi sedih.” Ujar ibu sambil mengapus air matanya. Kalau ibu sudah seperti ini aku jadi luluh. Aku akhirnya terbiasa dengan kemiskinan.
Waktu sekolah SMA tak kunikmati masa-masa bahagia. Nostalgia di SMA meninggalkan keprihatinan dan kepahitan. Apalagi aku termasuk siswa miskin. Pergi ke sekolah berjarak dua Km dari rumah setiap hari harus kutempuh dengan berjalan kaki. Kadang berboncengan dengan teman sekelas dan teman satu sekolah. Tak ada uang jajan diberikan ibu. Celana sekolahpun hanya satu. Untungnya aku sekolah masuk sore. Pagi-pagi celana dicuci satu jam sebelum berangkat ke sekolah disetrika. Sialnya lagi pagi panas tapi menjelang pukul 11 hari hujan. Celana masih basah tak bisa digunakan akhrinya aku tak masuk sekolah hari itu. Meskipun dalam keprihatinan aku tetap semangat belajar. SMA akhirnya dapat kutamatkan dengan nilai izajah rata-rata tujuh.
Di hari tua ibu dapat menikmati hari-hari bahagia. Anak-anak yang dilahirkannya boleh dibilang hidup sukses. Setiap bulan aku menginap di rumah ibu bersama keluarga. Karena aku anak bungsu sejak kecil sangat dekat dengan ibu perhatian itu dan kasih sayangnya lebih besar dari dua orang saudara kandungku. Selain itu diantara dua saudara kandungku akulah anak ibu yang paling lama tinggal bersamanya.
Setelah tamat SMA aku kuliah di ibu kota propinsi. Aku tak ingin kos dan tetap memilih tinggal bersama ibu. Walaupun jam lima pagi aku harus bangun menunggu bus yang mengantarkanku ke kampus. Jarak rumahku dengan kampus sekitar 60 Km. Mengantuk dan capek sering aku alami dalam dalam bus.
Kakak laki-lakiku bekerja di BUMN dengan posisi jabatan lumayan. Dia hidup berbahagia dengan keluarganya. Jarang datang menjenguk ibu karena kesibukannya bekerja dan tinggal di luar kota. Dia datang bersama keluarganya di hari lebaran, atau kalau anak-anaknya libur sekolah dan kuliah. Kakak perempuanku seorang guru SD Negeri suaminya juga guru SD. Mereka sudah punya rumah sendiri. Setiap libur kwartal mereka nginap beberapa malam di rumah ibu bersama keluarganya.


Hari minggu di bulan Januari  bunda mengajakku berziarah ke makam kakek dan nenek yang berada tak jauh dari rumah.
“Ibukan baru ziarah ke makam kakek ?” tanyaku
“Tadi malam bunda bermimpi bertemu denga kakek dan nenekmu. Dia mengajak ibu tinggal dirumahnya. Rumah kakek dan nenekmu bagaikan sebuah istana megah sekali ?” cerita ibu.
“Bunda mau diajak kakek tinggal bersamanya,? “Bunda hanya mengangguk. Aku tidak ada perasaan apa-apa ketika itu. Bunda memang anak kesayangan kakek dan nenek.
“Bawa cangkul !” pinta bunda. Aku memenuhi permintaan bunda. Akhirnya kami berdua berjalan kaki menuju pemakaman kakek dan nenek.
Kuburan almarhum kakek dan nenek masih bersih belum ditumbuhi rumput, tapi disebelahnya terlihat semak ditumbuhi rumput liar.
“Tolong kau bersihkan rumput di sebelah kuburan nenek,” pinta bunda, tanpa protes aku mengerjakan perintah buda.
Bunda  khusuk membaca Surat Yasin dan berdo’a di pusara kakek dan nenek yang dikubur berdampingan.
“Kalau bunda meninggal nanti kuburkan bunda  disebelah kuburan nenek ?” kata bunda  berwasiat.
“Bunda  seperti mau meninggal aja ? apa bunda  tidak ingin hidup lebih lama di dunia ?” jawabku  bunda hanya diam termenung menatap pusara kakek dan nenek. Aku sama sekali tidak ada perasaan kalau bunda akan berpulang kerahmatullah dalam waktu dekat ini. Karena kondisi fisik  bunda  masih sehat dan bugar tak ada penyakit serius yang menggerogoti tubuh bunda.
“Mungkin hari ini terakhir kalinya bunda  berziarah ke makam kakek dan nenekmu. Tahun depan anak dan cucu bunda  yang datang berziarah ke makam bunda,” kata bunda berkata sendiri. Mendengar  bunda  berkata begitu tumbuh firasat dalam hatiku. Jangan-jangan apa yang dikatakan  bunda  benar ? bisik hatiku.
Kata-kata yang diucapkan  bunda  sewaktu dikuburan tadi tidak kuceritakan kepada siapapun termasuk kedua kakakku isteri dan kedua orang anakku. Sebulan kemudian  bunda  jatuh sakit awalnya kenak diare.  Bunda  sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi setelah dua malam diopname  Bunda  minta pulang.  Bunda  menjalani rawat jalan di rumah.
Bunda  hanya butuh istirahat di rumah. Ia masih bisa turun dari atas tempat tidur untuk mengerjakan sholat. Tengah malam ia bangkit mengerjakan sholat tahajjud. Biasanya selepas sholat isya bunda  membaca Al Qur’an sampai 1 juz, setelah itu tidur. Kebiasan membaca Al Qur’an habis sholat Isya dikerjakan ibu sejak  bunda  masih berusia gadis remaja.
Malam berpulang kerahmatullah bunda  kakak perempuanku datang menginap bersama anak gadisnya Tina waktu itu sedang libur kuliah. Kami tau kalau  bunda  telah tiada ketika Tina menjenguk Neneknya karena biasanya neneknya sehabis sholat Isya keluar dari dalam kamar, tapi mengapa nenek tidak juga keluar dari kamarnya.
“Bu mengapa nenek tidak keluar-keluar dari kamarnya ? Tanya Tina.
“Coba kau lihat nenek ?” pinta ibunya. Tina berdiri dari duduknya menuju kamar nenek yang tidak terkunci.
Saat pintu kamar didorong Tina  berteriak memanggil ibunya dan aku. Bergegas aku dan kakak perempuanku menuju kamar ibu.
“Nenek Bu ?” teriak Tina
            “ Ada apa dengan nenek Na  ?” Tanya ibunya.
            “Lihat itu nenek sejak dari  tadi sujud kok enggak bangkit-bangkit,” ujar  Tina. Begitu kakakku menyentuh tubuh  bunda , bunda  jatuh. Tubuhnya kaku sudah tak bernyawa. Kami meluruskan tubuh ibu, terlihat ibu tersenyum. Siisi  rumah gaduh  isyak tangis  terdengar oleh tetangga. Mereka datang ke rumah duka ikut menangis begitu mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
            Aku melapor kematian itu pada nazir masjid. Dari menari masjid berita duka diumumkan oleh Pak Jalal. Mendengar pengumuman itu puluhan warga datang ke rumah duka. Tetangga kami  mempersiapkan tenda dan kursi untuk para pentakziah.
            Warga kampungku merasa sangat kehilangan bunda  yang begitu baik menurut mereka. Sepengetahuan teman-teman masa kanak-kanak dan remaja yang masih hidup. Bunda  sosok salehah selama hidupnya tidak pernah menyakiti hati  orang lain selain itu pemurah dan penyayang.
Bunda  semasa hidupnya aktif mengikuti pengajian di masjid dan dalam perwiridan yasin setiap hari Jum’at bunda tak datang kalau sakit atau pergi ke rumah anaknya. Ibu-ibu teman pengjian bunda membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an 30 juz. Pahala bacaannya dihadiahkan buat bunda. Demikian pula dengan cucu-cucu bunda anak dan membantu masing-masing dapat jatah memabaca satu juz bagi surat pendek , tapi kalau surat Al Baqarah dibagi tiga.
 Anak dan cucu-cucu bunda memandikannya dibantu bilal mayat. Wajah  bunda  selesai dimandikan terlihat cantik putih bersih.  Bunda terlihat lebih muda seperti perempuan paruh baya padahal  bunda berpulang kerahmatullah dalam usia 85 tahun. Tidak terlihat keriput diwajah bunda. “Subhanallah” kata-kata itu berulangkali aku ucapkan.
Setelah dikafani jenazah  bunda  disholatkan di masjid dekat rumah kami. Ratusan orang turut menyalatkan bunda. Semoga dengan banyaknya orang yang menyalatkan bunda di yaumil masyar nanti bunda mendapat  safaat dari Allah SWT.  Amin  !!!! Semoga di alam kubur nanti bunda  tidur bagaikan seorang pengantin baru.  Amin  !!! Selesai disholatkan ibu diantar ke tempat peristirahatan terakhir  sesuai dengan wasiatnya dimakamkan bersebelahan dengan nenek.
Cuaca dimusim kemarau saat itu sejak dari pagi mendung, biasanya panas menyengat. Empat hari sebelum kematian ibu hujan deras turun sebanyak dua malam berturut-turut. Tanah menjadi basah sehingga  mudah untuk digali pengorek kubur.
Di pemakaman udara sejuk angin berembus sepo-sepoi membuat tubuh terasa segar, sehingga ratusan orang pengantar jenazah bunda betah berada di areal  kuburan. Padahal seminggu lalu warga kampungku meninggal dunia hanya anak-anaknya saja yang berada di dekat kuburan, sedangkan tetangganya yang ikut mengantar berteduh dibawah pohon rindang menghindari terik matahari.
Sesaat setelah papan penutup lihang lahat dipasang terjadi keajabian. Tanah galian tertumpuk di atats turun sendiri  menutupi papan liang lahat tempat bunda beristirahat untuk selama-lamanya hingga hari berbangkit. Tanah itu turun perlahan lahan. Aku bersama kakak tertuaku bergegas naik ke atas. Ustadz Solihin berulangkali mengucapkan takbir, tasbih dan tahmid mengagungkan kebesaran Allah SWT diikuti puluhan pengantar jenazah lainnya.
“Apa yang kita saksikan hari ini detik ini terhadap alharhumah semata-mata kebesaran Allah SWT. Begitulah balasan yang diberikan kepada Allah terhadap hambanya yang taat menjalankan perintahnya. Allah memberikan karomah pada almarhumah yang sangat kita cinta. Kepada kita Allah SWT perlihatkan tanda-tanda kekuasaannya agar kita belajar dari kehidupan Almarhumah ini,”ujar Ustadz Solihin.
Ketika bunda ditalkinkan  semerbak bau harum menyebar, bau harum yang sebelumnya belum pernah kami rasakan. Bau harum itu menyejukkan hati melegakan pernapasan dan terasa segar.  Begitu juga kamar  mendiang bunda  berbau wangi. Apakah ini disebut bau wangi kasturi ? aku hanya bias menduga-duga saja.
Tahlilan malam pertama bau harum ini menyebar bukan hanya dalam rumah tapi juga di halaman rumah. Ratusan warga selama tiga malam berturut-turut membacakan surat Al Ikhlas, tahtim, tahlil dan ditutup dengan doa yang pahalanya dihadiahkan untuk almarhum bunda.
Pada malam ke empat menjelang pukul 12.000 Wib sayup-sayup kami mendengar ada suara orang mengaji dalam kamar bunda. Siapa pula yang mengaji dalam kamar ibu ? padahal semua keluarga berkumpul di ruang tamu.
“Yan coba kau lihat siapa yang mengaji dalam kamar bunda ? pintaku.
“Yani tidak berani Om ?” Jawab Yani. Anggota keluarga yang lain juga tidak berani. Bersambung    
“Ayah saja yang melihat ?” ujar putri  bungsuku berusia  9 tahun.
Akhirnya aku memberanikan diri  masuk ke dalam ruangan kamar ibu.
“Subhanallah di ruangan sholat keluarga dalam rumah kami  penuh oleh ibu-ibu paruh baya mengaji. Jumlahnya aku tidak tau pasti, karena setiap aku hitung jumlahnya terus bertambah. Mereka  semua memakai busana putih dan wajah mereka putih besih dengan fostur tubuh di atas rata-rata perempuan Indonesia . Aku terkesima melihat mereka tertekun dan  kaki ini rasanya berat untuk digerakkan.
“Ada apa yah ?” Tanya putrid bungsuku.
“Lihat itu puluhan orang mengaji di kamar nenek ?” ujarku.
“Tapi Winda enggak melihatnya yah ! Cuma mendengar suaranya saja,” ujar putri  bungsuku. Sesaat kemudian seluruh keluargaku berada di  rumah duka masuk ke dalam kamar bunda. Cuma mereka hanya mendengar suara saja yang bisa  melihat ponakanku  Tina. Selama bunda masih hidup Tina cucu  kesayangan mendiang bunda. Kalau libur sekolah Yani datang menemani bunda tidur bersama bunda. Bunda sering bercerita tentang kehidupan anak-anaknya. Masa kecil dulu dan remaja.
Setelah  Tina  kuliah di Unimed pada semester ke empat ada beasiwa dari pemerintah Jerman untuk mahasiswa/mahasiswi jurusan Bahasa Jerman  kuliah di sana. Tina  salah seorang mahasiswi jurusan babhasa Jerman berprestasi akhirnya terpilih setelah melalui testing.  Tina sempat tinggal menetap di Jerman selama 5 tahun, ketemu jodoh mahasiswa asal Indonesia dari  Jokja. Tahun 2015 lalu kembali ke tanah air. Kini  Tina besama  suaminya tinggal di Jokja.  Sama-sama menjadi dosen di Universitas yang sama   Andaikata Bunda masih hidup neneknya pasti tidak mengijinkannya kuliah di Jerman.  Alhamdulillah tahun ini  Tina  akan menghajikan mendiang neneknya.
Siapa yang mengaji dalam ruangan sholat  aku  hanya bisa menduga-duga saja . Aku menduga mereka itu Jin Islam. Keluargaku yang lain juga beranggapab  seperti itu. Hingga pukul dua dini hari suara mereka mengaja masih terdengar. Menjelang sholat   sholat subuh baru mereka mengakhiri pengajiannya tamat 30 juz ditutup dengan  do’a yang pahala bacaan mereka khusus dihadiahkan untuk bunda.
Jelas kudengar mereka membacakan doa buat bunda. Allahumaj’al wa aushil mitsla tsawabi maa qaraktuhu ilaa ruuhi umi (mereka menyebut nama bundaku) Allah huma  maghfirlaha warhmaha  dan seterusnya. Pengajian itu berakhir di hari ke tujuh bunda berpulang kerahmatullah. Setelah itu kami tak lagi mendengar  di kamar bunda ada orang mengaji.
Almarhum bunda semasa hidupnya pernah bercerita di ruang sholat  keluarga kami  sering melihat penampakan perempuan sholat di  sana. Di lain waktu almarhumah bunda pernah melihat ada kakek-kakek  memakai baju jubah putih dan berjanggut lebat sholat di tempat  yang sama. Cuma penampakan itu hanya sekilas saja.
Pada hari ke 40 almarhumah bunda berpulang  kerahmatullah kami mengadakan kenduri 40 hari. Kami anak cucu bunda kumpul di rumah Bunda. Kenduri digelar selepas sholat magrib. Setelah jiran tetangga yang diundang pulang ke rumah masing-masing. Kami bercerita tentang nostalgia bersama bunda selama ia masih hidup.  Obrolan berlangsung hingga larut malam di ruang tamu. Tiba-tiba sekitar pukul satu dini hari, putri  bungsuku mendengar sayup sayup orang membaca surat ikhlas tahtim dan tahlil seperti yang dibacakan tandi waktu kenduri.
“Yah ada suara  orang kenduri di ruang sholat nenek ?” ujarnya. Kami berhenti bercerita. Benar itu suara orang sedang kenduri.
“Yah sana tengok ?’ pinta puntri bungsuku.
Rasa penasaran mendorongku pergi ke ruang sholat almarhum bunda diikuti dengan seluruh anggota keluarga. Kami memang tidak melihat apa-apa di sana seperti  hari ke tujuh kematian bunda. Yang kami dengar suara saja tanpa ujud.
Memang rumah yang kami tempati pernah tak dihuni sampai belasan tahun. Pada mulanya kami hanya mengontrak kemudian pemiliknya meminta kami untuk membayarinya.  Akhirnya ayah membeli rumah itu untuk tempat tinggal keluarganya.   Konon pengontrak rumah  yang kami tempati  saat ini tak pernah betah. Paling lama enam bulan kemudian pindah. Keluarga kamilah yang betah tinggal di rumah ini, selamat 5 tahun mengontrak dan 15 tahun menempati sebagai rumah sendiri.
Sebelum kami mengontrak rumah ini warga sekitar menceritakan rumah yang bakal kami kontrak anker ada penghuni ghoibnya makhluk bangsa jin tapi Islam. Tapi ayan dan ibu tidak perduli toh sama-sama makhluk Allah SWT apalagi satu akidah.  Awalnya kami juga takut karena sering melihat penampakan makhluk ghoib seperti ada ibu-ibuk sedang khusuk berdo’a, ada  bapak-bapak dan ibu-ibu sholat berjama’ah. Tapi akhirnya kami terbiasa menyaksikannya dan tak ada rasa takut.*****


Komentar

Berita Terkini