Oleh: Rusdi Muhammad
Bunda berpulang kerahmatullah hari Rabu 13
Januari 2010 pukul 22 wib lewat 23 menit 24 detik.. Kalau
dihubungkan dengan Suat Al Qur’an kematian bunda bertepatan dengan Surat
13 ayat 22-24. Surat ke 13 adalah Ar Ra’d. Dalam Surat Ar Ra’ad ayat 22-24
Allah SWT berfirman yang artinya. “ Dan orang-orang yang sabar karena mencari
keredhaan Tuhannya, mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami
berikan kepada mereka secara sembunyi sembunyi atau terang-terangan serta
menolak kejahatan dengan kebaikan. Orang-orang itulah yang mendapat tempat yang
baik yaitu syurga “and yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan
orang-orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya,
sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat mereka dari semua pintu sambil
mengucapkan keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.”
Kematian bunda di usia 85 tahun dikaitkan
dengan firman Allah Surat Ar Ra’ad ayat 22-24 aku menganggabnya secara kebetulan
saja, agar kami anak-anak yang ditinggalkannya mengambil pelajaran dari
kehidupan bunda yang tabah. Tapi kemudian terjadilah hal-hal yang gaib di ruang
sholat bunda. Ada suara dan sosok ghaib mengaji Al Qur’an dengan sangat
fasih sekali. Sosok gaib ini khatam Al Qur’an 30 zus. Mereka mengadiahkan
pahala bacaan Al Qur’an untuk arwah bunda.
Yang dapat aku jelaskan semasa bunda masih
hidup sosok perempuan sholeah orangnya penyabar dan sangat pemurah. Bunda
sering membagikan uang kepada anak-anak ponakannya, cucunya, dan tetangganya,
meskipun kehidupan bunda tidak berkecukupan. Sejak masa remaja bunda hingga
berpulang kerahmatullah bunda mengerjakan puasa sunnah senin-kamis dan
puasa-puasa sunah lainnya seperti puasa 6 hari habis lebaran, puasa arafah, puasa
nisfu sa’ban, puasa Asyura dan puasa lainnya yang dianjurkan oleh baginda
Rasulullah SAW agar dikerjakan.
Kesabaran bunda menjalani romantika kehidupan
di dunia dengan mengalami berbagai ujian cobaan hidup susah dan senang bahagia
dan menderita bunda lalui dengan tabah. Bunda tidak pernah mengeluh apalagi
berkeluh kesah ketika diuji dengan kesusahan dan tidak pula kikir jika bunda
diuji dengan kesenangan. Bunda selalu mengajarkan kepada kami agar senantiasa
bersyukur pada Allah SWT.
Di awal kehidupan perkawinan bunda dengan
ayah, bersama ketiga buah hatinya hidup senang dan bahagia. Ayah waktu itu
selain kepala SD Swasta Muhammaddiyah juga menjabat sebagai Kepala Desa di
sebuah perkebunan Swasta.. Jabatan yang diemban ayah membuat kedua orangtua
kami sangat dihormati masyarakat. Apalagi sosok ibu yang sholeah begitu juga
dengan ayah yang saleh. Ibu mengajarkan kepada kami agar membantu kehidupan
fakir miskin di sekitar tempat tinggal kami. Jika ada tamu datang minta sedekah
bunda menyuruh kami memberikan uang kalau tak ada uang beri mereka beras. Suruh
pengemis itu masuk ke rumah beri ia air minum dan roti.
Memasuku tahun ke 15 perkawinan bunda
kehidupan keluarga kami mengalami prahara hebat. Situasi Negara saat itu kacau
balau huru hara terjadi di seluruh pelosok negeri saat G 30S PKI meletus.
Kehidupan rakyat berubah menjadi susah. Bahan-bahan kebutuhan pokok susah
didapat.Kalaupun ada harganya melambung tinggi. Ibupun harus menanak nasi bubur
untuk menghemat stok beras yang masih tersisa. Demikian pula setelah
pemberontakan G30S PKI dapat ditumpas lahirlah Ordebaru tidak serta merta
ekonomi dalam negeri menjadi pulih.
Demikian pula kehidupan kami saat itu.
Pembersihan dilakukan pemerintahan Orde Baru terhadap antek-antek PKI
membuat ayah saat itu masih menjabat Kepala Desa harus berurusan dengan aparat
kepolisian dan tentara. Ayah sering diminta menjadi saksi apakah warganya yang
ditangkap atas laporan masyarakat terindikasi PKI. Tengah malam aparat TNI
sering menggedor rumah kami membawa seseorang yang diduga PKI. Ayah
terpaksa berbohong mengatakan warga yang ditangkap itu bukan anggota PKI.
Atas permintaan ibu karena takut pada
keselamatan jiwa ayah kadang dijeput aparat tengah malam ke pos, akhirnya ayah
memutuskan mengundurkan diri dari jabatgan kepala desa. Ayah membawa
keluarganya pindah ke rumah kakek. Selang beberapa bulan kemudian ayah diterima
bekerja sebagai guru sekolah madrasah di perkebunan. Gaji ayah di zaman itu
sangat kecil, apalagi setiap bulan ayah harus berbagi uang gajinya dengan kakak
tertua yang sekolah di luar propinsi. Selama empat tahun ayah ibu aku dan kakak
perempuanku setiap lebaran tak pernah punya baju baru.
Perkebunan memberikan catu sembako yang sudah
apek. Beras kadang berulat ikan asin busuk, minyak makan bauhnya tengik. Bahkan
pernah kami sekeluarga menderita diare akibat mengkonsumsi beras sentetis beras
yang bahannya dari gandum. Orang kebon menyebutnya beras atom. Kata kakakku aku
sering rewel mogok enggak mau makan karena berasnya apek lauknya ikan asin.
Sedangkan sebelumnya waktu ayah jadi kades setiap hari makan ikan basah, beras
putih.
Dengan lemah lembut ibu berkata membujukku
sambil menangis agar aku mau makan..
“Dulu kita pernah hidup senang waktu ayahmu jadi kades dan kepala sekolah SD Swasta. Kalau sekarang hidup kita susah ini semua ujian dan cobaan Tuhan. Begitulah kehidupan manusia di dunia seperti air laut kadang pasang kadang surut, kadang diatas kadang dibawah seperti roda pedati. Kita harus sabar nak ? jangan merajuk nak ,tak mau makan ibu jadi sedih.” Ujar ibu sambil mengapus air matanya. Kalau ibu sudah seperti ini aku jadi luluh. Aku akhirnya terbiasa dengan kemiskinan.
“Dulu kita pernah hidup senang waktu ayahmu jadi kades dan kepala sekolah SD Swasta. Kalau sekarang hidup kita susah ini semua ujian dan cobaan Tuhan. Begitulah kehidupan manusia di dunia seperti air laut kadang pasang kadang surut, kadang diatas kadang dibawah seperti roda pedati. Kita harus sabar nak ? jangan merajuk nak ,tak mau makan ibu jadi sedih.” Ujar ibu sambil mengapus air matanya. Kalau ibu sudah seperti ini aku jadi luluh. Aku akhirnya terbiasa dengan kemiskinan.
Waktu sekolah SMA tak kunikmati masa-masa
bahagia. Nostalgia di SMA meninggalkan keprihatinan dan kepahitan. Apalagi aku
termasuk siswa miskin. Pergi ke sekolah berjarak dua Km dari rumah setiap hari
harus kutempuh dengan berjalan kaki. Kadang berboncengan dengan teman sekelas
dan teman satu sekolah. Tak ada uang jajan diberikan ibu. Celana sekolahpun
hanya satu. Untungnya aku sekolah masuk sore. Pagi-pagi celana dicuci satu jam
sebelum berangkat ke sekolah disetrika. Sialnya lagi pagi panas tapi menjelang
pukul 11 hari hujan. Celana masih basah tak bisa digunakan akhrinya aku tak
masuk sekolah hari itu. Meskipun dalam keprihatinan aku tetap semangat belajar.
SMA akhirnya dapat kutamatkan dengan nilai izajah rata-rata tujuh.
Di hari tua ibu dapat menikmati hari-hari
bahagia. Anak-anak yang dilahirkannya boleh dibilang hidup sukses. Setiap bulan
aku menginap di rumah ibu bersama keluarga. Karena aku anak bungsu sejak kecil
sangat dekat dengan ibu perhatian itu dan kasih sayangnya lebih besar dari dua
orang saudara kandungku. Selain itu diantara dua saudara kandungku akulah anak
ibu yang paling lama tinggal bersamanya.
Setelah tamat SMA aku kuliah di ibu kota
propinsi. Aku tak ingin kos dan tetap memilih tinggal bersama ibu. Walaupun jam
lima pagi aku harus bangun menunggu bus yang mengantarkanku ke kampus. Jarak
rumahku dengan kampus sekitar 60 Km. Mengantuk dan capek sering aku alami dalam
dalam bus.
Kakak laki-lakiku bekerja di BUMN dengan
posisi jabatan lumayan. Dia hidup berbahagia dengan keluarganya. Jarang datang
menjenguk ibu karena kesibukannya bekerja dan tinggal di luar kota. Dia datang
bersama keluarganya di hari lebaran, atau kalau anak-anaknya libur sekolah dan
kuliah. Kakak perempuanku seorang guru SD Negeri suaminya juga guru SD. Mereka
sudah punya rumah sendiri. Setiap libur kwartal mereka nginap beberapa malam di
rumah ibu bersama keluarganya.
Hari minggu di bulan Januari bunda
mengajakku berziarah ke makam kakek dan nenek yang berada tak jauh dari rumah.
“Ibukan baru ziarah ke makam kakek ?” tanyaku
“Tadi malam bunda bermimpi bertemu denga kakek dan nenekmu. Dia mengajak ibu tinggal dirumahnya. Rumah kakek dan nenekmu bagaikan sebuah istana megah sekali ?” cerita ibu.
“Bunda mau diajak kakek tinggal bersamanya,? “Bunda hanya mengangguk. Aku tidak ada perasaan apa-apa ketika itu. Bunda memang anak kesayangan kakek dan nenek.
“Ibukan baru ziarah ke makam kakek ?” tanyaku
“Tadi malam bunda bermimpi bertemu denga kakek dan nenekmu. Dia mengajak ibu tinggal dirumahnya. Rumah kakek dan nenekmu bagaikan sebuah istana megah sekali ?” cerita ibu.
“Bunda mau diajak kakek tinggal bersamanya,? “Bunda hanya mengangguk. Aku tidak ada perasaan apa-apa ketika itu. Bunda memang anak kesayangan kakek dan nenek.
“Bawa cangkul !” pinta bunda. Aku memenuhi permintaan
bunda. Akhirnya kami berdua berjalan kaki menuju pemakaman kakek dan nenek.
Kuburan almarhum kakek dan nenek masih bersih belum
ditumbuhi rumput, tapi disebelahnya terlihat semak ditumbuhi rumput liar.
“Tolong kau bersihkan rumput di sebelah kuburan nenek,” pinta bunda, tanpa protes aku mengerjakan perintah buda.
Bunda khusuk membaca Surat Yasin dan berdo’a di pusara kakek dan nenek yang dikubur berdampingan.
“Kalau bunda meninggal nanti kuburkan bunda disebelah kuburan nenek ?” kata bunda berwasiat.
“Bunda seperti mau meninggal aja ? apa bunda tidak ingin hidup lebih lama di dunia ?” jawabku bunda hanya diam termenung menatap pusara kakek dan nenek. Aku sama sekali tidak ada perasaan kalau bunda akan berpulang kerahmatullah dalam waktu dekat ini. Karena kondisi fisik bunda masih sehat dan bugar tak ada penyakit serius yang menggerogoti tubuh bunda.
“Mungkin hari ini terakhir kalinya bunda berziarah ke makam kakek dan nenekmu. Tahun depan anak dan cucu bunda yang datang berziarah ke makam bunda,” kata bunda berkata sendiri. Mendengar bunda berkata begitu tumbuh firasat dalam hatiku. Jangan-jangan apa yang dikatakan bunda benar ? bisik hatiku.
“Tolong kau bersihkan rumput di sebelah kuburan nenek,” pinta bunda, tanpa protes aku mengerjakan perintah buda.
Bunda khusuk membaca Surat Yasin dan berdo’a di pusara kakek dan nenek yang dikubur berdampingan.
“Kalau bunda meninggal nanti kuburkan bunda disebelah kuburan nenek ?” kata bunda berwasiat.
“Bunda seperti mau meninggal aja ? apa bunda tidak ingin hidup lebih lama di dunia ?” jawabku bunda hanya diam termenung menatap pusara kakek dan nenek. Aku sama sekali tidak ada perasaan kalau bunda akan berpulang kerahmatullah dalam waktu dekat ini. Karena kondisi fisik bunda masih sehat dan bugar tak ada penyakit serius yang menggerogoti tubuh bunda.
“Mungkin hari ini terakhir kalinya bunda berziarah ke makam kakek dan nenekmu. Tahun depan anak dan cucu bunda yang datang berziarah ke makam bunda,” kata bunda berkata sendiri. Mendengar bunda berkata begitu tumbuh firasat dalam hatiku. Jangan-jangan apa yang dikatakan bunda benar ? bisik hatiku.
Kata-kata yang diucapkan bunda
sewaktu dikuburan tadi tidak kuceritakan kepada siapapun termasuk kedua
kakakku isteri dan kedua orang anakku. Sebulan kemudian bunda jatuh
sakit awalnya kenak diare. Bunda sempat dilarikan ke rumah sakit,
tapi setelah dua malam diopname Bunda minta pulang. Bunda
menjalani rawat jalan di rumah.
Bunda hanya butuh istirahat di rumah.
Ia masih bisa turun dari atas tempat tidur untuk mengerjakan sholat. Tengah
malam ia bangkit mengerjakan sholat tahajjud. Biasanya selepas sholat isya
bunda membaca Al Qur’an sampai 1 juz, setelah itu tidur. Kebiasan membaca
Al Qur’an habis sholat Isya dikerjakan ibu sejak bunda masih
berusia gadis remaja.
Malam berpulang kerahmatullah bunda
kakak perempuanku datang menginap bersama anak gadisnya Tina waktu itu
sedang libur kuliah. Kami tau kalau bunda telah tiada ketika Tina
menjenguk Neneknya karena biasanya neneknya sehabis sholat Isya keluar dari
dalam kamar, tapi mengapa nenek tidak juga keluar dari kamarnya.
“Bu mengapa nenek tidak keluar-keluar dari kamarnya ? Tanya Tina.
“Coba kau lihat nenek ?” pinta ibunya. Tina berdiri dari duduknya menuju kamar nenek yang tidak terkunci.
“Bu mengapa nenek tidak keluar-keluar dari kamarnya ? Tanya Tina.
“Coba kau lihat nenek ?” pinta ibunya. Tina berdiri dari duduknya menuju kamar nenek yang tidak terkunci.
Saat pintu kamar didorong Tina
berteriak memanggil ibunya dan aku. Bergegas aku dan kakak perempuanku
menuju kamar ibu.
“Nenek Bu ?” teriak Tina
“ Ada apa dengan nenek Na ?” Tanya ibunya.
“Lihat itu nenek sejak dari tadi sujud kok enggak bangkit-bangkit,” ujar
Tina. Begitu kakakku menyentuh tubuh bunda , bunda jatuh.
Tubuhnya kaku sudah tak bernyawa. Kami meluruskan tubuh ibu, terlihat ibu
tersenyum. Siisi rumah gaduh isyak tangis terdengar oleh
tetangga. Mereka datang ke rumah duka ikut menangis begitu mengetahui apa yang
sesungguhnya terjadi.
Aku melapor kematian itu pada nazir masjid. Dari menari masjid berita duka
diumumkan oleh Pak Jalal. Mendengar pengumuman itu puluhan warga datang ke
rumah duka. Tetangga kami mempersiapkan tenda dan kursi untuk para
pentakziah.
Warga kampungku merasa sangat kehilangan bunda yang begitu baik menurut
mereka. Sepengetahuan teman-teman masa kanak-kanak dan remaja yang masih hidup.
Bunda sosok salehah selama hidupnya tidak pernah menyakiti hati
orang lain selain itu pemurah dan penyayang.
Bunda semasa hidupnya aktif mengikuti
pengajian di masjid dan dalam perwiridan yasin setiap hari Jum’at bunda tak
datang kalau sakit atau pergi ke rumah anaknya. Ibu-ibu teman pengjian bunda
membacakan ayat-ayat suci Al Qur’an 30 juz. Pahala bacaannya dihadiahkan buat
bunda. Demikian pula dengan cucu-cucu bunda anak dan membantu masing-masing
dapat jatah memabaca satu juz bagi surat pendek , tapi kalau surat Al Baqarah
dibagi tiga.
Anak dan cucu-cucu bunda memandikannya
dibantu bilal mayat. Wajah bunda selesai dimandikan terlihat cantik
putih bersih. Bunda terlihat lebih muda seperti perempuan paruh baya
padahal bunda berpulang kerahmatullah dalam usia 85 tahun. Tidak terlihat
keriput diwajah bunda. “Subhanallah” kata-kata itu berulangkali aku ucapkan.
Setelah dikafani jenazah bunda
disholatkan di masjid dekat rumah kami. Ratusan orang turut menyalatkan bunda.
Semoga dengan banyaknya orang yang menyalatkan bunda di yaumil masyar nanti
bunda mendapat safaat dari Allah SWT. Amin !!!! Semoga di
alam kubur nanti bunda tidur bagaikan seorang pengantin baru.
Amin !!! Selesai disholatkan ibu diantar ke tempat peristirahatan
terakhir sesuai dengan wasiatnya dimakamkan bersebelahan dengan nenek.
Cuaca dimusim kemarau saat itu sejak dari
pagi mendung, biasanya panas menyengat. Empat hari sebelum kematian ibu hujan
deras turun sebanyak dua malam berturut-turut. Tanah menjadi basah
sehingga mudah untuk digali pengorek kubur.
Di pemakaman udara sejuk angin berembus
sepo-sepoi membuat tubuh terasa segar, sehingga ratusan orang pengantar jenazah
bunda betah berada di areal kuburan. Padahal seminggu lalu warga
kampungku meninggal dunia hanya anak-anaknya saja yang berada di dekat kuburan,
sedangkan tetangganya yang ikut mengantar berteduh dibawah pohon rindang
menghindari terik matahari.
Sesaat setelah papan penutup lihang lahat
dipasang terjadi keajabian. Tanah galian tertumpuk di atats turun sendiri
menutupi papan liang lahat tempat bunda beristirahat untuk selama-lamanya
hingga hari berbangkit. Tanah itu turun perlahan lahan. Aku bersama kakak
tertuaku bergegas naik ke atas. Ustadz Solihin berulangkali mengucapkan takbir,
tasbih dan tahmid mengagungkan kebesaran Allah SWT diikuti puluhan pengantar
jenazah lainnya.
“Apa yang kita saksikan hari ini detik ini
terhadap alharhumah semata-mata kebesaran Allah SWT. Begitulah balasan yang
diberikan kepada Allah terhadap hambanya yang taat menjalankan perintahnya.
Allah memberikan karomah pada almarhumah yang sangat kita cinta. Kepada kita
Allah SWT perlihatkan tanda-tanda kekuasaannya agar kita belajar dari kehidupan
Almarhumah ini,”ujar Ustadz Solihin.
Ketika bunda ditalkinkan semerbak bau
harum menyebar, bau harum yang sebelumnya belum pernah kami rasakan. Bau harum
itu menyejukkan hati melegakan pernapasan dan terasa segar. Begitu juga
kamar mendiang bunda berbau wangi. Apakah ini disebut bau wangi
kasturi ? aku hanya bias menduga-duga saja.
Tahlilan malam pertama bau harum ini menyebar
bukan hanya dalam rumah tapi juga di halaman rumah. Ratusan warga selama tiga
malam berturut-turut membacakan surat Al Ikhlas, tahtim, tahlil dan ditutup
dengan doa yang pahalanya dihadiahkan untuk almarhum bunda.
Pada malam ke empat menjelang pukul 12.000
Wib sayup-sayup kami mendengar ada suara orang mengaji dalam kamar bunda. Siapa
pula yang mengaji dalam kamar ibu ? padahal semua keluarga berkumpul di ruang
tamu.
“Yan coba kau lihat siapa yang mengaji dalam
kamar bunda ? pintaku.
“Yani tidak berani Om ?” Jawab Yani. Anggota
keluarga yang lain juga tidak berani. Bersambung
“Ayah saja yang melihat ?” ujar putri
bungsuku berusia 9 tahun.
Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke
dalam ruangan kamar ibu.
“Subhanallah di ruangan sholat keluarga dalam
rumah kami penuh oleh ibu-ibu paruh baya mengaji. Jumlahnya aku tidak tau
pasti, karena setiap aku hitung jumlahnya terus bertambah. Mereka semua
memakai busana putih dan wajah mereka putih besih dengan fostur tubuh di atas
rata-rata perempuan Indonesia . Aku terkesima melihat mereka tertekun dan
kaki ini rasanya berat untuk digerakkan.
“Ada apa yah ?” Tanya putrid bungsuku.
“Lihat itu puluhan orang mengaji di kamar
nenek ?” ujarku.
“Tapi Winda enggak melihatnya yah ! Cuma
mendengar suaranya saja,” ujar putri bungsuku. Sesaat kemudian seluruh
keluargaku berada di rumah duka masuk ke dalam kamar bunda. Cuma mereka
hanya mendengar suara saja yang bisa melihat ponakanku Tina. Selama
bunda masih hidup Tina cucu kesayangan mendiang bunda. Kalau libur
sekolah Yani datang menemani bunda tidur bersama bunda. Bunda sering bercerita
tentang kehidupan anak-anaknya. Masa kecil dulu dan remaja.
Setelah Tina kuliah di Unimed
pada semester ke empat ada beasiwa dari pemerintah Jerman untuk
mahasiswa/mahasiswi jurusan Bahasa Jerman kuliah di sana. Tina
salah seorang mahasiswi jurusan babhasa Jerman berprestasi akhirnya
terpilih setelah melalui testing. Tina sempat tinggal menetap di Jerman selama
5 tahun, ketemu jodoh mahasiswa asal Indonesia dari Jokja. Tahun 2015
lalu kembali ke tanah air. Kini Tina besama suaminya tinggal di
Jokja. Sama-sama menjadi dosen di Universitas yang sama
Andaikata Bunda masih hidup neneknya pasti tidak mengijinkannya kuliah di
Jerman. Alhamdulillah tahun ini Tina akan menghajikan
mendiang neneknya.
Siapa yang mengaji dalam ruangan sholat
aku hanya bisa menduga-duga saja . Aku menduga mereka itu Jin Islam.
Keluargaku yang lain juga beranggapab seperti itu. Hingga pukul dua dini
hari suara mereka mengaja masih terdengar. Menjelang sholat sholat
subuh baru mereka mengakhiri pengajiannya tamat 30 juz ditutup dengan
do’a yang pahala bacaan mereka khusus dihadiahkan untuk bunda.
Jelas kudengar mereka membacakan doa buat
bunda. Allahumaj’al wa aushil mitsla tsawabi maa qaraktuhu ilaa ruuhi umi
(mereka menyebut nama bundaku) Allah huma maghfirlaha warhmaha dan
seterusnya. Pengajian itu berakhir di hari ke tujuh bunda berpulang
kerahmatullah. Setelah itu kami tak lagi mendengar di kamar bunda ada
orang mengaji.
Almarhum bunda semasa hidupnya pernah bercerita
di ruang sholat keluarga kami sering melihat penampakan perempuan
sholat di sana. Di lain waktu almarhumah bunda pernah melihat ada
kakek-kakek memakai baju jubah putih dan berjanggut lebat sholat di
tempat yang sama. Cuma penampakan itu hanya sekilas saja.
Pada hari ke 40 almarhumah bunda berpulang
kerahmatullah kami mengadakan kenduri 40 hari. Kami anak cucu bunda
kumpul di rumah Bunda. Kenduri digelar selepas sholat magrib. Setelah jiran
tetangga yang diundang pulang ke rumah masing-masing. Kami bercerita tentang
nostalgia bersama bunda selama ia masih hidup. Obrolan berlangsung hingga
larut malam di ruang tamu. Tiba-tiba sekitar pukul satu dini hari, putri
bungsuku mendengar sayup sayup orang membaca surat ikhlas tahtim dan tahlil
seperti yang dibacakan tandi waktu kenduri.
“Yah ada suara orang kenduri di ruang
sholat nenek ?” ujarnya. Kami berhenti bercerita. Benar itu suara orang sedang
kenduri.
“Yah sana tengok ?’ pinta puntri bungsuku.
Rasa penasaran mendorongku pergi ke ruang
sholat almarhum bunda diikuti dengan seluruh anggota keluarga. Kami memang
tidak melihat apa-apa di sana seperti hari ke tujuh kematian bunda. Yang
kami dengar suara saja tanpa ujud.
Memang rumah yang kami tempati pernah tak
dihuni sampai belasan tahun. Pada mulanya kami hanya mengontrak kemudian
pemiliknya meminta kami untuk membayarinya. Akhirnya ayah membeli rumah
itu untuk tempat tinggal keluarganya. Konon pengontrak rumah
yang kami tempati saat ini tak pernah betah. Paling lama enam bulan
kemudian pindah. Keluarga kamilah yang betah tinggal di rumah ini, selamat 5
tahun mengontrak dan 15 tahun menempati sebagai rumah sendiri.
Sebelum kami mengontrak rumah ini warga
sekitar menceritakan rumah yang bakal kami kontrak anker ada penghuni ghoibnya
makhluk bangsa jin tapi Islam. Tapi ayan dan ibu tidak perduli toh sama-sama
makhluk Allah SWT apalagi satu akidah. Awalnya kami juga takut karena
sering melihat penampakan makhluk ghoib seperti ada ibu-ibuk sedang khusuk
berdo’a, ada bapak-bapak dan ibu-ibu sholat berjama’ah. Tapi akhirnya
kami terbiasa menyaksikannya dan
tak ada rasa takut.*****