Retribusi dan Parkir Jadi Objek Pungli di Wisata Tangkahan.

harianfikiransumut.com - Langkat - Pungutan liar (pungli) di objek wisata di Tangkahan dengan korban wisatawan tidak hanya pada pemungutan retribusi,harga makanan dan tarif parkir juga menjadi objek pungli.

Jika hal ini tidak cepat diatasi, tindakan ini akan mencoreng pariwisata di Tangkahan, tak tanggung- tanggung taref masuk wisata Tangkahan yang mencapai Rp.70.000 perorang ditambah lagi uang parkir tarif parkir bus yang mahal mencapai Rp100.000 dàn kendaraan roda dua Rp.500.000.

Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Langkat Drs Muliono saat di konfirmasi mengatakan, Pengelola parkir di wisata Tangkahan tidak pernah konsultasi dengan dishub, parkir dilokasi wisata Tangkahan sesuai perda 1/2012 dan perbup 8/2021 roda 2 Rp 3000, roda 4 Rp. 4000, roda 6 keatas Rp. 5000.

Karcis resmi dikeluarkan dari dishub dan diporporasi Bapenda Langkat, tarif parkir sebenarnya berlaku sama di semua tempat, yakni Rp3.000 sampai Rp4.000. 

Lebih lanjut Kadishub Langkat menambahkan, karcis yang dipakek Parak oknum pengelola wisata Bukit Lawang dan wisata Tangkahan bukan karcis resmi dari Dinas Berhubungan Langkat, jadi tidak ada dasar hukummya dan tidak ada pemasukan untuk ke kas Daerah.

"Mindset masyarakat juga turut berpengaruh, maunya parkir yang dekat dengan tujuan. Padahal sudah disediakan tempat parkir meski agak jauh dari tempat wisata Tangkahan," ujarnya.

Persoalan pungli tarif parkir di objek wisata tidak hanya terjadi di Wisata Tangkahan saja. Tarif parkir yang melebihi ketentuan tersebut ditemukan awak media di kawasan wisata Bukit Lawang, Rata-rata tarif parkir di kawasan tersebut Rp20.000 untuk kendaraan roda empat. Sementara untuk bus Rp30.000 dan sepeda motor Rp5.000.

Salah satu pengelola wisata Tangkahan yang tak mau menyebutkan jati dirinya membenarkan tarif parkir Rp20.000 untuk kendaraan roda empat. Namun dalam karcis tersebut terdapat rincian bahwa lima ribu untuk jasa kebersihan. 

Ia mengatakan tarif parkir merupakan kesepakatan kelompok yang dikelola oleh pemuda wisata Tangkahan dan Desa. 

Pengelola parkir mengklaim sudah berkonsultasi dengan Dinas Perhubungan Langkat terkait dengan tarif parkir tersebut, “Katanya tidak masalah asal tidak ada pemaksaan kepada wisatawan,” ucapnya.

Warga beralasan kebersihan di kawasan wisata Tangkahan dikelola oleh warga, “Tidak ada dari petugas kebersihan pemerintah yang mengambil sampah disini, semua warga,” ucap pengunjung.

Beberapa lokasi parkir hampir berdekatan dari tiap tempat, sehingga wisatawan jika berpindah dari satu tempat parkir ke tempat parkir lainnya dipastikan harus merogoh kantong lagi karena berbeda pengelola.

Ia meminta kepada pihak-pihak terkait agar parkir di pariwisata seperti itu perlu ditertibkan. Solusi yang terbaik yakni dinas terkait yang menangani rertribusi parkir untuk bisa memfasilitasi para pengusaha parkir dan pihak terkait untuk bisa duduk bersama agar ke depan tidak terjadi lagi hal semacam itu.

Sementara itu, untuk mencegah kasus pungli di kawasan wisata Tangkahan terulang kembali, Pemkab Langkat harus mencabut Peraturan Desa (Perdes) yang akan dijadikan rujukan untuk melakukan pungli.

Perdes tersebut harus dicabut dan di tinjau ulang, lantaran selama ini sejumlah oknum yang melakukan pungli beralasan apa yang dilakukan sudah sesuai dengan peraturan  yang berlaku di wilayah tersebut. 

Perdes yang dijadikan patokan sejumlah oknum untuk melakukan pungli tersebut dibuat memang tanpa kajian menyeluruh. Setelah dicabut dan dinilai tidak berlaku lagi. 

Pemdes wisata Tangkahan harus membuat ulang perdes baru terkait pengelolaan pariwisata Tangkahan tersebut.

Pungli yang terjadi di objek wisataTangkahan disebabkan belum adanya regulasi retribusi yang jelas. Waketum LPK Nurman Ginting menjelaskan, persoalan seperti itu akan selalu ada di objek wisata manapun sebab regulasi yang tidak pernah jelas. Regulasi yang dimaksud  terkait siapa yang berwenang untuk menarik retribusi di sebuah tempat wisata. 

Seseorang yang melakukan penarikan retribusi tanpa izin dan hanya menunjukkan sebuah papan bertuliskan tarif wisata berdasar peraturan desa maupun peraturan daerah kurang efisien. "Wisatawan tidak peduli soal itu," kata dia kepada harianfikiransumut.com, Minggu (8/5/2021).

Dalam pembuatan regulasi retribusi pemerintah harus melibatkan masyarakat dan pelaku wisata. Selain itu, agar sebuah objek wisata bebas dari pungli perlu penegakan hukum.

"Memungut retribusi itu kan sama seperti memungut pajak, ya harus ada regulasinya," katanya.

Ia menandaskan penyelesaian pungli di tempat wisata tidak bisa parsial. Harus ada pemantauan di destinasi wisata.(red)
Komentar

Berita Terkini